Beranda | Artikel
Mengenal Tauhid [bagian 1]
Kamis, 2 November 2017

Bismillah.
 
Segala puji bagi Allah, Rabb yang telah menciptakan kita dan orang-orang sebelum kita, mudah-mudahan kita termasuk hamba yang bertakwa. Salawat dan salam semoga tercurah kepada nabi kita Muhammad, para sahabatnya, dan pengikut setia mereka. Amma ba’du.

Sudah menjadi kewajiban kita untuk bersyukur kepada Allah yang tidak henti-hentinya mencurahkan nikmat yang tampak dan tersembunyi kepada kita semua. Syukur kepada Allah menjadi sebab bertambahnya nikmat dan terbukanya pintu kebahagiaan. 
 
Saudaraku -kaum muslimin- yang dirahmati Allah, sudah berapa lama kita memeluk agama Islam? Ya, mungkin kita sudah bertahun-tahun menikmati hidayah Islam ini tanpa kita sadari. Yang menjadi masalah adalah banyak diantara kita yang masih lalai dan belum memahami hakikat agama Islam itu sendiri. Banyak orang terlena oleh kesenangan dunia atau kesibukan untuk menumpuk materi sampai lupa ibadah dan lupa menimba ilmu agama. Padahal, memahami agama adalah kunci kebaikan.
 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)
 
Kita seringkali meremehkan menimba ilmu agama dan menganggap bahwa belajar agama itu bukan kebutuhan. Padahal, dengan menimba ilmu agama menjadi sebab Allah mudahkan jalan menuju surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang menempuh jalan dalam rangka mencari ilmu (agama) maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
 
Kita sudah sering mendengar ayat (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). Kita menyadari bahwa tujuan hidup ini adalah untuk beribadah kepada Allah, tetapi banyak juga diantara kita yang hari-harinya jauh dari nilai-nilai ibadah dan tenggelam dalam kerusakan dan kehinaan. 
 
Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati untuk menetapi kesabaran.” (al-’Ashr : 1-3)
 
Bagaimana tidak merugi? Banyak orang sudah diberi nikmat hidup, nikmat sehat, nikmat waktu, nikmat keamanan, dan nikmat-nikmat yang lainnya tetapi justru tidak pandai bersyukur kepada Allah. Akhirnya nikmat yang tercurah kepadanya justru berbalik menjadi bencana dan malapetaka; berupa dosa dan kemaksiatan. Seperti yang diungkapkan oleh seorang ulama terdahulu yang bernama Abu Hazim rahimahullah. Beliau mengatakan, “Setiap nikmat yang tidak semakin mendekatkan diri kepada Allah maka itu sebenarnya adalah musibah/malapetaka.” 
 
Benar, setiap anak Adam tentu pernah berbuat salah dan terjerumus dalam dosa. Meskipun demikian Allah perintahkan kita untuk bertaubat dan beristighfar kepada-Nya untuk membersihkan dosa-dosa itu dan meraih kebahagiaan hakiki di sisi-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan bertaubatlah kepada Allah kalian semua wahai orang-orang beriman, mudah-mudahan kalian beruntung.” (an-Nuur : 31). Taubat inilah jalan menuju kebahagiaan dan keselamatan.
 
Semestinya kita bertaubat dari kelalaian dan kesalahan kita selama ini. Kita pun harus mengakui bahwa dosa kita itu tidak sedikit. Bisa jadi dosa-dosa kita semakin besar gara-gara kita remehkan. Padahal sifat seorang mukmin tidaklah demikian, dia melihat dosanya adalah bencana besar yang mengancam hidupnya. Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata, “Seorang mukmin melihat dosa-dosanya seperti dirinya sedang duduk di bawah sebuah gunung; dia khawatir gunung itu akan runtuh menimpa dirinya.” 
 
Banyak orang menganggap bahwa menimba ilmu agama itu bukan kebutuhan mendesak. Mereka lebih mendahulukan perkara-perkara dunia dan menjadikan dunia sebagai puncak cita-citanya. Dia lupa bahwa dirinya tercipta untuk beribadah kepada Rabbnya. Dia mengira bahwa ibadah itu kepentingan Allah, bukan kepentingan dan kebutuhannya. Padahal ibadah kepada Allah adalah kebutuhan setiap hamba untuk meraih kebahagiaan dirinya. Sementara ibadah kepada Allah tidak akan bisa lurus dan benar kecuali dengan landasan ilmu agama.
 
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Manusia jauh lebih banyak membutuhkan ilmu daripada kebutuhan mereka kepada makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari sekali atau dua kali. Adapun ilmu dibutuhkan sebanyak hembusan nafas.”   
 
Dari mana seorang bisa membedakan antara iman dan kekafiran, antara tauhid dan kesyirikan, antara ketaatan dan maksiat, kalau bukan dengan landasan ilmu agama? Oleh sebab itu Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mendorong kita untuk belajar agama dan memahami kandungan ilmu dan hikmah dari ayat-ayat Allah dan sunnah rasul-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu)
 
Memahami ayat-ayat Allah dan merenungkan ajaran Islam akan mendekatkan diri kita kepada Allah dan membukakan pintu kebahagiaan. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123). 
 
Diantara sekian banyak kandungan ilmu di dalam al-Qur’an, maka tauhid dan akidah Islam merupakan pokok dan pondasi semua ajaran dan ketaatan. Tauhid inilah ajaran yang disampaikan oleh setiap rasul kepada umatnya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan benar-benar Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut/sesembahan selain Allah.” (an-Nahl : 36)
 
Oleh sebab itu dalam kesempatan yang berbahagia ini kami ingin mengingatkan diri kami dan segenap kaum muslimin akan pentingnya kita belajar tauhid dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Diantara kesibukan kita dan kegiatan-kegiatan yang kita kerjakan, jangan sampai kita lupa akan hakikat dan tujuan hidup kita. Karena orang yang melupakan Allah dan kufur kepada-Nya adalah orang yang mati hatinya walaupun fisiknya masih hidup. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya adalah seperti perumpamaan antara orang hidup dengan orang mati.” (HR. Bukhari)
 
Pada kesempatan-kesempatan yang akan datang bi idznillah kami akan menyajikan petikan pelajaran dan faidah seputar tauhid dan akidah Islam dengan mengambil rujukan dari Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah dengan tambahan keterangan dari kitab-kitab yang lain sesuai kebutuhan dan konteksnya. Mudah-mudahan dengan kegiatan belajar dan mengkaji kitab ulama ini bisa menambah keimanan kita dan semakin membuat kita kenal tauhid dan mencintainya.     
  
Teriring doa kepada Allah dengan perantara nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang mulia, semoga Allah mengampuni dosa-dosa kita, kedua orang tua kita, guru-guru kita, dan segenap kaum muslimin, dan semoga Allah menambahkan iman dan kepahaman dalam agama kepada kita. Sesungguhnya Allah yang menguasai hal itu dan mampu untuk mewujudkannya. 
 
Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.
 
— 
 


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-tauhid-bagian-1/